Pada
29 Agustus 2012 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus tersangka Afriani,
tersangka kasus maut tugu tani yang menewaskan 9 orang dengan 15 tahun penjara, putusan hakim
pengadilan negeri Jakarta pusat tersebut menuai kontroversi adil atau tidak mengenai
putusan hakim tersebut, bagi pandangan keluarga korban maka putusan hakim
tersbut dianggap tidak adil Jaksa yang menuntut dengan pasal 338 KUHP yang berbunyi“Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.” Jaksa menuntut pemberatan atas kejadian di tugu
tani tersebut, sehingga jika dilakukan pemberatan maka pidana maksimal + 1/3
pidana pokoknya sehingga 15 tahun * 1/3= 5 jadi total keseluruhan menjadi 15
tahun + 5 tahun penjara = 20 tahun penjara.
Dalam
kasus afriani yang mengendarakan mobil xenia dengan pengaruh obat seperti
narkotika sehingga menyebabkan kealpaan dengan menewaskan 9 orang dan melukai 3
orang lainnya.
Menggunakan
obat seperti narkotika dikenakan pasal
127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman 4 tahun
penjara, jika afriani terbukti menggunakan ekstasi, karena ekstasi masuk dalam
katagori kokain sehingga tergolong psikotropika kelas 1 (Lihat penjelasan UU no
35 tahun 2009 tentang narkotika).
Kemudian
sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang sehingga menyebabkan orang
lain meninggal dunia dikenakan pasal 311 ayat 5 UU n0 22 tahun 2009 tentang
lalulintas dan angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 12 tahun penjara atau
denda maksimum Rp.12.000.000,00.
Kemudian
sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang sehingga menyebabkan orang
lain luka berat dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara berdasarkan pasal 311
ayat 4 UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan umum.
Dalam stelsel pemidanaan dikenal 4 macam pemidanaan
1.
Absorpsi,
atau dalam bahasa kimia bisa disebut dengan arti penyerapan yang mana pidana
dengan hukuman yang terberat menyerap hukuman pidana yang terendah sehingga
dalam kasus ini pidana tertinggi hukumannya adalah 12 tahun sehingga hukuman
maksimal yang dijatuhkan adalah 12 tahun penjara.
2.
Absorpsi
di pertajam yakni sama dengan absorpsi pada umumnya, hanya saja hukumannya
ditambah dengan 1/3 pidana terberat, sehingga 12 tahun * 1/3 = 4 tahun, jadi
total 12 tahun + 4 tahun penjara = 16 tahun penjara.
3.
Komulasi
yakni keseluruhan pidana dijumlahkan yakni 4 tahun + 12 tahun + 10 tahun= 26
tahun, namun hanya saja hukuman maksimum pidana di indonesia jika tidak
dipenjara seumur hidup adalah 20 tahun penjara, sehingga otomatis tidak bisa
menggunakan komulasi ini.
4.
Komulasi
terbatas, keseluruhan pidana di jumlahkan hanya saja tidak boleh melebihi 20
tahun penjara.
Mengenai tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut dengan pasal 338 KUHP
saya rasa tidak tepat, karena jika menggunakan pasal ini harus ada unsur
kesengajaan. Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan
(schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf
zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan
(schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan
kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para
pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan
sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan
dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).
Diluar dari bentuk kesengajaan (opzettelijk), kita
kemudian mengenal dengan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian
(culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan.
Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur
didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam
pasal-pasal UU Lalu Lintas.
Mengenai putusan hakim yang menetapkan
15 tahun penjara kurungan penjara menurut penulis hakim menggunakan aturan
absorpsi dipertajam atau menggunakan kumulasi terbatas, hanya saja angka 15
tahun lebih ringan 1 tahun jika menggunakan absorpsi dipertajam dan 5 tahun
lebih ringan jika menggunakan komulasi terbatas. Hal ini diberikan peringanan
oleh hakim oleh karena tersangka afriani dianggap kooperatif dan membantu
proses penyidikan sehingga dalam hal ini hakim sah-sah saja memberikan
keringanan tersebut.
Dalam hal kesimpulan ini penulis
menyimpulkan memang rasanya tidak adil jika afriani hanya di fonis 15 tahun
penjara karena hakikatnya afriani hanya menjalankan 10 tahun penjara saja
nantinya dikarenakan setiap narapidana berhak mendapat remisi berupa pengurangan
hukuman juga bisa bebas bersyarat jika terpidana dianggap berkelakuan baik
selama dilapas, namun menurut hukum pidana yang berlaku di Indonesia penulis
rasa putusan hakim tersebut cukup adil mengingat 15 tahun penjara adalah pidana
pokok maksimum dalam KUHP jika tidak dilakukan pemberatan, juga mengingat
Tersangka afriani Kooperatif dalam menjalankan pemeriksaan.
(Mohamad Aulia
Syifa Mahasiaswa Fakultas Hukum jurusan hukum Pidana Universitas Muhammadiyah
Jakarta 2009 dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Jurusan
Pendidikan Matematika UIN SYAHID Jakarta 2008)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika;
UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan umum;
http://www.lensaindonesia.com/2012/08/15/keluarga-korban-berharap-afriani-dihukum-20-tahun.html;
http://metro.sindonews.com/read/2012/08/29/31/668265/keluarga-korban-tak-puas-vonis-afriani;
http://musri-nauli.blogspot.com/2012/01/wacana-pasal-pembunuhan-dalam-xenia.html;
http://www.lensaindonesia.com/2012/08/29/kuasa-hukum-korban-berharap-jaksa-ajukan-banding.html;
http://news.okezone.com/read/2012/01/25/338/562809/menanti-hukuman-untuk-afriani.