Kamis, 30 Agustus 2012

Fonis 15 tahun untuk Afriani tersangka tragedi tugu Tani Adilkah?


Pada 29 Agustus 2012 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus tersangka Afriani, tersangka kasus maut tugu tani yang menewaskan 9 orang  dengan 15 tahun penjara, putusan hakim pengadilan negeri Jakarta pusat tersebut menuai kontroversi adil atau tidak mengenai putusan hakim tersebut, bagi pandangan keluarga korban maka putusan hakim tersbut dianggap tidak adil Jaksa yang menuntut dengan pasal 338 KUHP  yang berbunyi“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Jaksa menuntut pemberatan atas kejadian di tugu tani tersebut, sehingga jika dilakukan pemberatan maka pidana maksimal + 1/3 pidana pokoknya sehingga 15 tahun * 1/3= 5 jadi total keseluruhan menjadi 15 tahun + 5 tahun penjara = 20 tahun penjara.
Dalam kasus afriani yang mengendarakan mobil xenia dengan pengaruh obat seperti narkotika sehingga menyebabkan kealpaan dengan menewaskan 9 orang dan melukai 3 orang lainnya.
Menggunakan obat seperti narkotika dikenakan  pasal 127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman 4 tahun penjara, jika afriani terbukti menggunakan ekstasi, karena ekstasi masuk dalam katagori kokain sehingga tergolong psikotropika kelas 1 (Lihat penjelasan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika).
Kemudian sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia dikenakan pasal 311 ayat 5 UU n0 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 12 tahun penjara atau denda maksimum Rp.12.000.000,00.
Kemudian sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang sehingga menyebabkan orang lain luka berat dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara berdasarkan pasal 311 ayat 4 UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan umum.
Dalam stelsel pemidanaan dikenal 4 macam pemidanaan
1.      Absorpsi, atau dalam bahasa kimia bisa disebut dengan arti penyerapan yang mana pidana dengan hukuman yang terberat menyerap hukuman pidana yang terendah sehingga dalam kasus ini pidana tertinggi hukumannya adalah 12 tahun sehingga hukuman maksimal yang dijatuhkan adalah 12 tahun penjara.
2.      Absorpsi di pertajam yakni sama dengan absorpsi pada umumnya, hanya saja hukumannya ditambah dengan 1/3 pidana terberat, sehingga 12 tahun * 1/3 = 4 tahun, jadi total 12 tahun + 4 tahun penjara = 16 tahun penjara.
3.      Komulasi yakni keseluruhan pidana dijumlahkan yakni 4 tahun + 12 tahun + 10 tahun= 26 tahun, namun hanya saja hukuman maksimum pidana di indonesia jika tidak dipenjara seumur hidup adalah 20 tahun penjara, sehingga otomatis tidak bisa menggunakan komulasi ini.
4.      Komulasi terbatas, keseluruhan pidana di jumlahkan hanya saja tidak boleh melebihi 20 tahun penjara.
Mengenai tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut dengan pasal 338 KUHP saya rasa tidak tepat, karena jika menggunakan pasal ini harus ada unsur kesengajaan. Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Diluar dari bentuk kesengajaan (opzettelijk), kita kemudian mengenal dengan  kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan. Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam pasal-pasal UU Lalu Lintas.
Mengenai putusan hakim yang menetapkan 15 tahun penjara kurungan penjara menurut penulis hakim menggunakan aturan absorpsi dipertajam atau menggunakan kumulasi terbatas, hanya saja angka 15 tahun lebih ringan 1 tahun jika menggunakan absorpsi dipertajam dan 5 tahun lebih ringan jika menggunakan komulasi terbatas. Hal ini diberikan peringanan oleh hakim oleh karena tersangka afriani dianggap kooperatif dan membantu proses penyidikan sehingga dalam hal ini hakim sah-sah saja memberikan keringanan tersebut.
Dalam hal kesimpulan ini penulis menyimpulkan memang rasanya tidak adil jika afriani hanya di fonis 15 tahun penjara karena hakikatnya afriani hanya menjalankan 10 tahun penjara saja nantinya dikarenakan setiap narapidana berhak mendapat remisi berupa pengurangan hukuman juga bisa bebas bersyarat jika terpidana dianggap berkelakuan baik selama dilapas, namun menurut hukum pidana yang berlaku di Indonesia penulis rasa putusan hakim tersebut cukup adil mengingat 15 tahun penjara adalah pidana pokok maksimum dalam KUHP jika tidak dilakukan pemberatan, juga mengingat Tersangka afriani Kooperatif dalam menjalankan pemeriksaan.

(Mohamad Aulia Syifa Mahasiaswa Fakultas Hukum jurusan hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta 2009 dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Jurusan Pendidikan Matematika UIN SYAHID Jakarta 2008)


Sumber Bacaan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika;
UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan umum;
http://www.lensaindonesia.com/2012/08/15/keluarga-korban-berharap-afriani-dihukum-20-tahun.html;
http://metro.sindonews.com/read/2012/08/29/31/668265/keluarga-korban-tak-puas-vonis-afriani;
http://musri-nauli.blogspot.com/2012/01/wacana-pasal-pembunuhan-dalam-xenia.html;
http://www.lensaindonesia.com/2012/08/29/kuasa-hukum-korban-berharap-jaksa-ajukan-banding.html;
http://news.okezone.com/read/2012/01/25/338/562809/menanti-hukuman-untuk-afriani.