Oleh:
Mohamad Aulia Syifa (Mahasiswa
Hukum Pidana UMJ, Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Jakarta, dan Asisten
Peneliti CIDES)
Hampir setiap hari jika kita melihat berita atau
media masa didalamnya hampir tidak pernah Absen dari kasus Pemerkosaan. Menurut
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN) sejak
tahun 1998 hingga 2010 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual. Kurang dari 10%
saja kekerasan seksual yang dapat terpilah sebanyak 8784 kasus, Sisanya
sebanyak 85.176 kasus adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual
dan eksploitasi seksual. Dan yang dapat
dipastikan terjadinya pemerkosaan dalam kurun waktu tersebut sudah tercatat
oleh komnas perempuyan sebanyak 4845 (KOMNAS PEREMPUAN, Kekerasan Seksual
kenali dan Tangani). Tahun 2011 Komnas Perempuan mencatat ada 3753 kasus pemerkosaan yang
terjadi (http://www.aruspelangi.or.id/aksi-perempuan-menolak-perkosaan/ 27/2/2013 09.41 WIB). Artinya hingga 1998-2011 sudah tercatat
setidaknya kurang lebih ada sekitar 8598 kasus pemerkosaan itu baru data yang
sudah dapat di deteksi belum lagi ditambah data yang belum terdeteksi, dan data
di tahun 2012.
Pengertian
Pemerkosaan
Barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan (Pasal 285 KUHP)
Serangan yang diarahkan
pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke
organ seksual (vagina), anus atau
mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya.
Serangan itu dilakukan dengan
kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan
kekerasan, di bawah paksaan, penahanan,
tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan
yang koersif, atau serangan atas
seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya (Komnas Perempuan, kekerasan
Seksual kenali dan tangani)
Artinya pemerkosaan adalah
sebuah bentuk paksaan untuk memaksa seorang perempuan melakukan aktivitas
seksual.
Hukuman
Bagi Pelaki Pemerkosaan di Indonesia
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun penjara (Pasal 285 KUHP)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
pidana penjaran paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (Pasal 81 Ayat 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain. (Pasal 81 Ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK)
Pidana
Kebiri (Kastarasi) sebagai Alternatif Pidana bagi pelaku pemerkosaan di
Indonesia
Pidana kebiri (Kastrasi) memang belum ada dalam
system pemidanaan di Indonesia. Di Indonesia menurut pasal 10 KUHP baru dikenal
4 sistem pemidanaan yakni pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan
pidana denda, juga ada satu lagi jenis pemidanaan baru menurut UU NO 20 Tahun
1946 tentang pidana tutupan.
Pidana kebiri merujuk kepada keperihatinan penulis
akan semakin maraknya tindak pidana pemerkosaan di negeri ini, seakan berita
dinegeri ini tak ada habisnya dalam memberitakan kasus-kasus tersebut, terlebih
yang menjadi korbannya banyak juga dikalangan anak-anak.
Pidana kebiri sebetulnya sudah pernah dilakukan di
beberapa Negara seperti KORSEL, Ceko,Polandia,Jerman dan Madolva sudah
melakukan pemidanaan ini terhadap pelaku kejahatan seksual terlebih dengan korbannya
anak-anak.
Pidana kebiri sekilas memang dilihat sebagai suatu
jenis pemidanaan yang sadis sepertinya, namun sesungguhnya tidaklah sesadis
terhadap apa yang dilakukan oleh si pelaku terhadap korban yang telah
diperkosanya. Para korban yang telah hancur masa depannya, mereka telah hilang
kehormatannya dan mengalami deperesi yang berkepanjangan, sehingga pidana
kebiri adalah hukuman yang pantas diberikan kepada pelaku pemerkosa.
Dalam pemidanaan setidaknya ada 3 asas yang harus
dicapai yakni asas kepastian, asas kemanfaatan, dan asas keadilan.
Asas kepastian yakni sipelaku pemerkosa pasti
mendapatkan hukuman sehingga ia akan enggan melakukan tindak pidana
pemerkosaan, salah satunya pidana kebiri, jika pemidanaan ini dijadikan salah
satu nantinya sebagai stelsel pemidanaan di Indonesia dikemudian hari.
Asas kemanfaatan, setidaknya Negara jika pelaku
pemerkosaan hanya dikenakan pidana kebiri tanpa perlu dilakukan pemenjaraan
atau kurungan Negara akan menghemat banyak biayaya didalamnya. Mari kita hitung
biaya anggaran Negara dalam kalkulasinya berdasakan data diatas sebelumnya
tercatat ada 8598 kasus pemerkosaan dinegeri ini, jika rata-rata pelaku di
vonis 8 tahun penjara hakikatnya mereka hanya menjalankan kurang lebih selama 6
tahun penjara dikarenakan ada grasi didalamnya jika mereka memenui persyaratan.
Dalam 1 hari makan 3 kali yang mana sekali makan
kita perkirakan RP 3.000,- dalam satu tahun ada 365 hari dikalikan 6 tahun
rata-rata mereka menjalankan sebuah hukuman.
Dalam 1 hari 3 x Rp.3000,- = Rp.9.000,
Dalam 1 Tahun 365 x Rp.9.000,- = Rp.3.285.000,-
Dalam 6 Tahun 6 x Rp.3.285.000,- = Rp.19.710.000,-
8598 pelaku kejahatan dalam kurun waktu 1998-2011
9598 x Rp.19710.000,- = Rp 16.946.658.000,
Sekitar enam belas miliar Sembilan ratus empat puluh
enam juta enam ratus lima puluh delapan ribu rupiah, belum ditambah biaya
pembangunan dan kesehata para terpidana. Anggaran sebanyak itu alangkah lebih
baiknya dialokasikan untuk dana pendidikan atau alokasi lainnya seperti
pembuatan lapangan pekerjaan baru dan lainnya.
Asas keadilan, setidaknya si pelaku kejahatan
mendapat ganjaran setimpal dari tindakan yang ia lakukan, karena telah merampas
keperawanan, masa depan, dan kehormatan dari sikorban kejahatan.
Penulis memandang pidana penjara sudah tidak
relevan, lagi bagi para pelaku kejahatan tindak pidana pemerkosaan, terbukti
dari tahun ketahun kejahatan pemerkosaan semakin meningkat, setelah keluar dari
penjara si pelaku bisa saja kembali melakukan pemerkosaan sehingga menimbulkan
keresahan bagi para keluarga yang memiliki anak wanita, atau bagi kaum wanita
itu sendiri. Padahal tujuan pemidanaan pada hakikatnya adalah menimbulkan efek
jera bagi pelakunya, juga memberikan pelajaran bagi masyarakat umum agar tidak
melakukan kejahatan yang serupa, namun hal itu nampaknya belum tercapai bagi
pelaku pemerkosaan.
Penulis beranggapan, bahwa tindak pidana
pengkebirian tidaklah bertentangan dalam aturan agama, dimana dalam agama islam
dikenal yang namanya qishos atau hukuman yang dilakukan sesuai dengan
kejahatannya.
"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi
kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari
saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan
cara yang baik." (Al Baqarah 2:178)
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya
(Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." (Al Maa-idah 5:45)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.
(Al-Ma’idah 5 : 38).
Juga hukuman bagi agama Nasrani
“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan
gigi ganti gigi.” (Matius 5:38)
“mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti
tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti
bengkak.”(Keluaran 21:24-25)
“Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat,
maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya,
patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang
lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya.” (imamat 24:19-20)
“Janganlah
engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti
mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki."(ulangan
19:21)
Artinya dalam hukum agama pun dikenal dengan hukuman
dengan pembalasan setimpal, seperti dalam agama islam bagi pelaku pencurian
maka dipotong tangannya.
Pelaku pemerkosaan hakikatnya dia telah mencuri
keperawanan, masa depan, dan kehormatan dari seorang wanita, maka pengkibirian
adalah hukuman yang setimpal untuknya dalam kasus pemerkosaan, karena ia
melakukan atas dasar pemakasaan, bukan dasar kerelaan antar keduanya.
Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh
jika diterapkannya pidana kebiri (Kastrasi) bagi terciptanya suatu tujuan hukum
yakni efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi masyarakat umunya, maka pidana
kebiri perlu dimasukkan dalam RUU KUHP untuk dibahas menjadi sebuah UU KUHP
yang baru nantinya, sebagaimana Social
Worker atau pidana kerja social yang sedang dibahas dalam RUU KUHP yang
dikenakan bagi pelaku yang melakukan sebuah pelanggaran.
KESIMPULAN
1. Pidana
Penjara tidak mampu dalam memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana
pemerkosaan dan memberikan pelajaran bagi masyarakat pada umumnya, terbukti
meningkatnya kasus pemerkosaan dari tahun ke tahun.
2. Pidana
kebiri sudah dilakukan di beberapa Negara seperti KORSEL, Jeman,Ceko,polandia,
dan Maldova, sehingga bukanlah merupakan stelsel pidana baru yang ada di dunia.
3. Pidana
kebiri dapat dijadikan alternative pemidanaan selain pidana penjara bagi pelaku
pemerkosaan.
4. Pidana
Kebiri perlu dibahas dalam RUU KUHP agar menjadi UU KUHP, untuk melindungi
segenap kaum wanita untuk menciptakan suatu keamanan.