Berawal
dari peristiwa yang mengakibatkan meninggalnya seorang pasien bernama Julia
Fransiska Makatey (26) ini berujung pada penangkapan dokter spesialis
kebidanan, dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38).
April
2010, pasien yang sedang hamil anak keduanya masuk ke RS Dr Kandau Manado atas
rujukan puskesmas. Pada waktu masuk RS, ia didiagnosis akan melahirkan dan
sudah dalam tahap persalinan kala satu. Saat itu, tim dokter merencanakan
proses persalinan akan dilakukan secara normal.
"Setelah
delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan timbul tanda-tanda
gawat janin, sehingga diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat,"
tutur dr Nurdadi Saleh, SpOG, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia (POGI) dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Sekretariat
POGI, Jl Taman Kimia, Jakarta, Senin (11/11/2013).
Pada
waktu sayatan pertama dimulai, keluar darah yang berwarna kehitaman. Menurut dr
Nurdadi, itu merupakan tanda bahwa pasien dalam keadaan kurang oksigen. Bayi
pun berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien memburuk. Sekitar
20 menit kemudian, pasien dinyatakan meninggal dunia.
Atas
kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry
Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara.
Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan
bebas murni.
Selanjutnya
Jaksa Penuntut Umum pun melakukan Banding atas putusan bebas dari PN. Manado ke
Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara. Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Utara pada 8
November 2010 lalu pun menyatakan bebas atas dakwaan yang di dakwakan kepada dr
Ayu.
Namun
tertanggal 18 September 2012dr Ayu dijebloskan ke tahanan berdasarkan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung (MA), Nomor
365.K/Pid/2012 sehingga membatalkan putusan-putusan sebelumnya baik di
PN.Manado maupun di PT.Sulawesi Utara.
Penulis
berpendapat bahwa apa yang diputuskan oleh MA, sehingga membatalkan putusan PN.Manado
dan PT.Sulawei Utara tidak tepat dan bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP.
Terdakwa atau
penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat. (Pasal 67 KUHAP)
Terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas. (Pasal 244 KUHAP)
Artinya
seharusnya melalui Pasal 67 dan Pasal 244KUHAP yang menjelaskan bahwa seorang
terdakwa yang dinyatakan bebas oleh pengadilan maka selayaknya putusan tersebut
seharusnya dinyatakan sudah berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) .
Kemudian
tidaklah dikatakan sebuah kelalailan jika apa yang dilakukan oleh dr. Ayu sudah
sesuiai dengan standar prosedur kedokteran, yakni beliau sudah memiliki surat
tanda registrasi dokter (Pasal 29 UU no 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran), memiliki izin praktek (Pasal 36 UU praktik kedokteran), mendapat
persetujuan pihak keluarga untuk melakukukan upaya sesar (Pasal 45 UU Praktik Kedokteran),
membuat rekam medis (Pasal 46 UU Praktek Kedokteran). Jika semua prosedur
tersebut sudah dilakukan oleh dr.Ayu kepada pasien dalam penanganannya, maka
tidak layak dr. Ayu sehingga dapat dikenakan Pasal 359 KUHP yakni karena
kelalian menyebabkan orang meninggal dunia, juga Pasal 360, dan 361 KUHP. Karena
apa yang dilakukan oleh dokter ayu semuanya sudah sesuai dengan prosedur tindakan
medis. Lagi pula menurut ahli bahwa sebab
kematiann Julia Fransiska Makatey adalah karena adanya emboli udara, sehingga
mengganggu peredaran darah. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada
bilik kanan jantung pasien. Jelas bukan karena kesalahan procedural dalam
penanganan.
Untuk
itu justru seharusnya dr Ayu mendapat hak untuk di rehabilitasi yakni hak
seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
“Dokter
hanyalah manusia biasa, hanya saja dianggap memiliki keahlian dan kemampuan
lebih untuk melakuakn tindakan untuk mengobati manusia, dokter bukanlah tuhan yang
bisa menentukan hidup matinya seseorang, yang dilakukan oleh seorang dokter
hanyalah sebagai sebuah ikhtiar untuk menyelamatkan manusia dari penyakit,
namun pada akhirnya tuhanlah yang menentukan, jika dokter dikriminalisasi
seperti ini, hal ini jelas akan menggangu ketenangan seorang dokter untuk
menangani seorang pasien, sehingga bisa jadi menimbulkan hasil yang kurang
baik.”
Mohamad Aulia Syifa, S.Pd (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Sekjend Pengurus Daerah KAMMI Tangerang Selatan, Presidium CIDES ICMI Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Ketua Ikatan Mahasiswa Tangerang Selatan (IMATAS) )